a a a a a
logo

News & Events

<b> <p style="color:#003366;">Tidak Ada Ruang ‘Blind Spots’ dalam Pertumbuhan Data Center di Asia</p></b>

Tidak Ada Ruang ‘Blind Spots’ dalam Pertumbuhan Data Center di Asia

Seiring dengan pesatnya perkembangan infrastruktur digital di Asia, Data Center di kawasan ini kini menghadapi tekanan yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk memastikan keamanan fisik yang tangguh.

Dari peningkatan beban kerja kecerdasan buatan hingga meningkatnya ancaman siber-fisik, pengelola Data Center kini harus beradaptasi dengan faktor risiko yang lebih kompleks dan ter-lokalisasi.

Para ahli mengatakan bahwa jalan ke depan terletak pada penerapan pengawasan berbasis edge, strategi perlindungan berlapis, dan pelatihan yang lebih baik di semua tingkat operasional.

Pengawasan Berbasis Edge yang Esensial

Sistem pengawasan konvensional mengandalkan pemrosesan terpusat, di mana rekaman kamera dikirimkan ke server atau pusat kontrol jarak jauh untuk dianalisis. Meskipun model ini masih efektif di beberapa lingkungan, hal ini justru semakin kurang memadai di Data Center di mana respons waktu nyata dan keandalan tinggi sangat penting.

Pengawasan berbasis edge menawarkan alternatif dengan memungkinkan kamera untuk melakukan analisis secara lokal, di perangkat itu sendiri. Jackie Wu, Manajer Departemen di Departemen Penjualan APAC VIVOTEK, menyatakan bahwa permintaan untuk model ini semakin berkembang di sektor Data Center.

Pemrosesan Edge memungkinkan analisis waktu nyata di tingkat kamera, mengurangi penggunaan bandwidth, meningkatkan stabilitas, dan meminimalkan risiko keamanan siber," jelas Wu. Dengan menjaga pemrosesan video secara lokal, fasilitas dapat merespons ancaman secara langsung, bahkan saat terjadi gangguan jaringan.

Kualitas Gambar, Efisiensi Bandwidth, dan Keamanan Siber

Wu mencatat bahwa pengelola Data Center biasanya mengevaluasi kamera IP dengan tiga kriteria utama. Faktor-faktor ini saling bergantung dan harus dipertimbangkan dengan cermat agar seimbang.

"Para operator mencari gambar resolusi tinggi, penggunaan bandwidth yang efisien, dan keamanan siber yang kuat," kata Wu. Untuk memenuhi kebutuhan ini, VIVOTEK menawarkan kamera berbasis AI yang terintegrasi dengan platform cloud VORTEX-nya. Kombinasi ini memungkinkan pengguna untuk mengelola rekaman video sambil mempertahankan standar perlindungan data yang tinggi.

VIVOTEK juga menyematkan perangkat lunak pencegahan intrusi ke dalam perangkat keras mereka melalui kemitraan dengan perusahaan perangkat lunak keamanan. "Ini memastikan perlindungan berlapis, termasuk deteksi ancaman dan pengendalian kerusakan secara waktu nyata," tambah Wu.

Analitik Video Lanjut Mendukung Respons Insiden yang Lebih Cerdas

Manfaat pengawasan video di Data Center telah berkembang dengan kehadiran analitik berbasis AI. Analitik ini membantu operator untuk memantau pergerakan di area sensitif dan mendeteksi anomali secara waktu nyata.

"Deteksi gerakan cerdas, alarm intrusi, dan pelanggaran garis banyak digunakan di Data Center," kata Wu. Ia menambahkan bahwa kemampuan ini sangat efektif untuk memperkuat kebijakan akses kontrol dan mendukung respons keamanan yang cepat.

Analitik semacam ini kini tertanam di ‘edge’, yang berarti kamera dapat bertindak sebagai sensor dan analis secara bersamaan. Saat di-kombinasikan dengan platform akses kontrol dan manajemen fasilitas, sistem ini membantu meng-otomatisasi peringatan dan mengurangi kesalahan manusia.

Lensa Regional: Tantangan yang Unik bagi Data Center di Asia

Meskipun teknologi pengawasan terus berkembang, beberapa tantangan khusus di Asia masih mempengaruhi bagaimana sistem keamanan Data Center dirancang dan diterapkan. Bibin KR, seorang konsultan independen yang memberi saran kepada Data Center di kawasan Asia-Pasifik, menyoroti beberapa masalah yang terus berlanjut.

"Di banyak negara Asia, masalah terbesar adalah kurangnya kesadaran dan pelatihan keamanan," kata Bibin. Ia menunjukkan bahwa keterbatasan anggaran sering kali membuat fasilitas memilih vendor berdasarkan harga daripada kualitas. Hal ini mengakibatkan staf yang kurang terlatih dan penerapan teknologi yang kurang optimal.

Masalah lain adalah lingkungan regulasi yang ter-fragmentasi. "Berbeda dengan Eropa, di mana GDPR memberikan kerangka yang jelas, negara-negara Asia memiliki aturan yang sangat berbeda dan sering kali tidak jelas," kata Bibin. Hanya Singapura, Jepang, dan China yang memiliki undang-undang perlindungan data yang relatif matang. Di sebagian besar negara lain, regulasi masih berkembang, yang memperumit kepatuhan dan desain sistem.

Bencana alam juga merupakan faktor utama. "Topan, gempa bumi, dan banjir bandang dapat menyebabkan pemadaman listrik yang berkepanjangan," kata Bibin. "Tanpa sistem cadangan untuk akses kontrol dan pengawasan video, seluruh fasilitas menjadi rentan."

Keterbatasan Ruang dan Kolokasi Meningkatkan Risiko Fisik

Di banyak kota di Asia, Data Center dibangun di area perkotaan yang terbatas ruangnya. Hal ini sering kali berarti ‘beroperasi di fasilitas yang dibagi atau dikolokasi’, di mana keamanan pada level perimeter lebih sulit diterapkan.

"Di Eropa, Data Center biasanya terletak di area industri yang ditentukan, yang memudahkan desain keamanan perimeter," kata Bibin.

"Namun, di kota-kota seperti Mumbai atau Jakarta, Anda harus berbagi ruang. Hal ini membuatnya lebih sulit untuk mengendalikan akses secara efektif."

Untuk mengatasi hal ini, Bibin menyarankan pendekatan keamanan berlapis yang mencakup akses kontrol di tingkat kabinet atau rak. "Keamanan tingkat kabinet masih sering diabaikan," katanya. "Namun, di lingkungan yang dibagi, pencatatan yang tepat, kunci elektronik, dan jejak audit sangat penting untuk mencegah akses yang tidak sah."

Ancaman Dari Dalam Masih Menjadi Kekhawatiran Utama

Menurut Bibin, ancaman dari dalam adalah salah satu risiko yang paling sering diabaikan dalam keamanan Data Center. Ancaman ini bisa berasal dari kelalaian, pelatihan yang buruk, atau niat jahat.

"Terkadang kata sandi ter-bagikan atau seseorang ceroboh saat menggunakan suatu terminal," katanya. "Karyawan mungkin tidak memahami pentingnya protokol dasar. Itulah mengapa pelatihan rutin sama pentingnya dengan penerapan teknologi."

Wu menekankan bahwa analitik berbasis ‘edge’ juga dapat membantu di sini. Misalnya, kamera yang dilengkapi dengan pelacakan orang dan deteksi tailgating dapat mengidentifikasi dan melaporkan pola pergerakan yang tidak biasa, memungkinkan tim keamanan untuk merespons sebelum insiden berkembang lebih jauh.

Spoofing dan Deepfake Menjadi Risiko yang Muncul

Seiring dengan semakin umum digunakannya otentikasi biometrik, Data Center mulai menghadapi risiko baru dari spoofing dan deepfake yang dihasilkan oleh AI. "Banyak perusahaan sekarang menggunakan pengenalan wajah atau pemindaian iris," kata Bibin. "Namun, pelaku jahat dapat menipu sistem ini menggunakan AI."

Untuk mengurangi ancaman tersebut, Bibin merekomendasikan penggunaan otentikasi multi-faktor, teknologi anti-spoofing, dan deteksi kehadiran (liveness detection). "Mengandalkan satu bentuk otentikasi saja sudah tidak cukup lagi," katanya.

Merancang untuk Ketahanan: Praktik Terbaik bagi Integrator

Tidak ada rumus universal untuk mengamankan Data Center, namun beberapa praktik terbaik dapat menjadi panduan bagi integrator yang bekerja di kawasan ini.

"Pertama, Anda harus melakukan penilaian risiko yang tepat," kata Bibin. Ancaman di India mungkin sangat berbeda dengan yang ada di Jepang atau Vietnam. Penilaian yang baik tidak hanya akan mempertimbangkan ancaman siber, tetapi juga risiko iklim, ketegangan geopolitik, dan keterbatasan infrastruktur lokal.

Langkah selanjutnya adalah merancang sistem keamanan berlapis, dimulai dari perimeter dan bergerak ke dalam untuk mencakup pengawasan, akses kontrol, keamanan tingkat kabinet, dan deteksi intrusi.

"Pelatihan sangat penting," tambah Bibin. "Karyawan adalah mata dan telinga organisasi. Jika mereka tidak dilatih, bahkan sistem terbaik pun bisa gagal."

Pemilihan vendor juga memainkan peran penting. "Anda membutuhkan vendor yang tidak hanya menyediakan teknologi yang baik, tetapi juga memiliki dukungan purna jual yang kuat," kata Bibin. "Dalam satu kasus, kami harus menunggu 30 hari untuk bagian penting yang dikirim dari luar negeri. Penundaan seperti itu tidak dapat diterima di Data Center."

Sistem Terintegrasi Berbasis ‘Edge’ adalah Masa Depan

Data Center di Asia berkembang dengan pesat, dan sistem keamanannya harus mengikuti perkembangan tersebut. Pengawasan berbasis ‘edge’ muncul sebagai pendorong utama, menawarkan waktu respons yang lebih cepat, pengurangan penggunaan bandwidth, dan peningkatan keamanan siber. Namun, teknologi saja tidak cukup.

Strategi keamanan yang sukses harus bersifat berlapis, terlokalisasi, dan didukung oleh pelatihan berkelanjutan serta kesadaran regulasi. Seperti yang dikatakan Bibin, "Teknologi adalah pedang bermata dua. Yang penting adalah seberapa baik kita mempersiapkan sistem dan orang-orang kita."

Dengan perpaduan yang tepat antara kecerdasan ‘edge’, integrasi sistem, dan disiplin operasional, Data Center di Asia dapat membangun fondasi keamanan yang tangguh untuk mendukung masa depan digital kawasan ini.

Sumber: Prasanth Aby Thomas, Editor Konsultan
News & Events <b> <p style="color:#003366;">Tidak Ada Ruang ‘Blind Spots’ dalam Pertumbuhan Data Center di Asia</p></b>
Reviews System WIDGET PACK
,
Site Developed by Inti Karya Teknologi
Switch to Desktop Version